logo kota bau bau |
Kota Baubau adalah sebuah kota di Pulau Buton, Sulawesi Tenggara. Baubau memperoleh status kota pada tanggal 21 Juni 2001 berdasarkan UU No. 13 Tahun 2001.
Berdasarkan Perda No. 02 tahun 2010 tentang Penetapan Hari Jadi Kota
Baubau dan Perubahan Penulisan Baubau, ditetapkan pada pasal 5 ayat 1
dan 2 bahwa nama penulisan nama Kota Bau-Bau menjadi Baubau, sesuai
dengan Ejaan Yang Disempurnakan. Pada Perda tersebut juga ditetapkan bahwa hari jadi Kota Baubau pada tanggal 17 Oktober 1541.
Pemilihan tahun 1541 karena tahun tersebut merupakan tahun bersejarah
di bumi seribu benteng ini. Hal ini ditandai dengan terjadinya
transformasi pemerintahan Kerajaan Buton menjadi Kesultanan Buton
sebagai pembaharuan, yang ditandai dengan dilantiknya Lakilaponto
sebagai Sultan Buton I dengan Gelar Sultan Murhum Kaimuddin Khalifatul
Khamis [2]
Baubau menduduki peringkat ke-8 sebagai kota terbesar di Sulawesi berdasarkan jumlah populasi tahun 2010 atau urutan ke-2 untuk Provinsi Sulawesi Tenggara [3]. Hasil registrasi penduduk pada akhir tahun 2006
berjumlah 122.339 jiwa. Dari jumlah tersebut, terdapat jumlah penduduk
laki-laki sebanyak 57.027 jiwa (46,61%) dan perempuan 65.312 jiwa
(53,39%).
Berdasarkan sensus penduduk tahun 2010
jumlah penduduk Kota Baubau sebanyak 137.118 jiwa, dengan kepadatan
sebesar 1.113 per km², dan pertumbuhan sebesar 2,975% per tahun.
Nilai PDRB daerah Kota Baubau berdasarkan harga berlaku pada tahun 2007 sebesar. Rp 1.254,49 miliar, sedangkan berdasarkan harga konstan sebesar Rp. 586,32 miliar.[4]
Sejarah Baubau
Pada mulanya, Baubau merupakan pusat Kerajaan Buton
(Wolio) yang berdiri pada awal abad ke-15 (1401 – 1499). Buton mulai
dikenal dalam Sejarah Nasional karena telah tercatat dalam naskah Negara
Kertagama Karya Prapanca pada Tahun 1365 Masehi dengan menyebut Buton
atau Butuni sebagai Negeri (Desa) Keresian atau tempat tinggal para resi
dimana terbentang taman dan didirikan lingga serta saluran air. Rajanya
bergelar Yang Mulia Mahaguru. Cikal bakal negeri Buton untuk menjadi
sebuah Kerajaan pertama kali dirintis oleh kelompok Mia Patamiana (si
empat orang) Sipanjonga, Simalui, Sitamanajo, Sijawangkati yang oleh
sumber lisan di Buton mereka berasal dari Semenanjung Tanah Melayu pada
akhir abad ke – 13.
Buton
sebagai negeri tujuan kelompok Mia Patamiana mereka mulai membangun
perkampungan yang dinamakan Wolio (saat ini berada dalam wilayah Kota
Bau – Bau) serta membentuk sistem pemerintahan tradisional dengan
menetapkan 4 Limbo (Empat Wilayah Kecil) yaitu Gundu-gundu,
Barangkatopa, Peropa dan Baluwu yang masing-masing wilayah dipimpin oleh
seorang Bonto sehingga lebih dikenal dengan Patalimbona. Keempat orang
Bonto tersebut disamping sebagai kepala wilayah juga bertugas sebagai
pelaksana dalam mengangkat dan menetapkan seorang Raja. Selain empat
Limbo yang disebutkan di atas, di Buton telah berdiri beberapa kerajaan
kecil seperti Tobe-tobe, Kamaru, Wabula, Todanga dan Batauga. Maka atas
jasa Patalimbona, kerajaan-kerajaan tersebut kemudian bergabung dan
membentuk kerajaan baru yaitu kerajaan Buton dan menetapkan Wa Kaa Kaa
(seorang wanita bersuamikan Si Batara seorang turunan bangsawan Kerajaan
Majapahit) menjadi Raja I pada tahun 1332 setelah mendapat persetujuan
dari keempat orang bonto/patalimbona (saat ini hampir sama dengan
lembaga legislatif).
Dalam
periodisasi sejarah Buton telah mencatat dua Fase penting yaitu masa
Pemerintahan Kerajaan sejak tahun 1332 sampai pertengahan abad ke – 16
dengan diperintah oleh 6 (enam) orang raja diantaranya 2 orang raja
perempuan yaitu Wa Kaa Kaa dan Bulawambona. Kedua raja ini merupakan
bukti bahwa sejak masa lalu derajat kaum perempuan sudah mendapat tempat
yang istimewa dalam masyarakat Buton. Fase kedua adalah masa
Pemerintahan Kesultanan sejak masuknya agama Islam di Kerajaan Buton
pada tahun 948 Hijriah ( 1542 Masehi ) bersamaan dilantiknya Lakilaponto
sebagai Sultan Buton I dengan Gelar Sultan Murhum Kaimuddin Khalifatul
Khamis sampai pada Muhammad Falihi Kaimuddin sebagai Sultan Buton ke –
38 yang berakhir tahun 1960.
Masa pemerintahan Kerajaan Buton mengalami kemajuan
terutama bidang Politik Pemerintahan dengan bertambah luasnya wilayah
kerajaan serta mulai menjalin hubungan Politik dengan Kerajaan
Majapahit, Luwu, Konawe dan Muna. Demikian juga bidang ekonomi mulai
diberlakukan alat tukar dengan menggunakan uang yang disebut Kampua
(terbuat dari kapas yang dipintal menjadi benang kemudian ditenun secara
tradisional menjadi kain). Memasuki masa Pemerintahan Kesultanan juga
terjadi perkembangan diberbagai aspek kehidupan antara lain bidang
politik dan pemerintahan dengan ditetapkannya Undang-Undang Dasar
Kesultanan Buton yaitu “Murtabat Tujuh” yang di dalamnya mengatur
fungsi, tugas dan kedudukan perangkat kesultanan dalam melaksanakan
pemerintahan serta ditetapkannya Sistem Desentralisasi (otonomi daerah)
dengan membentuk 72 Kadie (Wilayah Kecil).
Dibidang hukum dijalankan sangat tegas dengan tidak
membedakan baik aparat pemerintahan maupun masyarakat umum. Hal ini
terlihat dari ke 38 orang sultan yang memerintah di Buton 12 orang
menyalahgunakan kekuasaan dan melanggar sumpah jabatan dan satu
diantaranya yaitu Sultan ke - VIII Mardan Ali, diadili dan diputuskan
untuk dihukum mati dengan cara digogoli (leher dililit dengan tali
sampai meninggal). Bidang perekonomian dimana Tunggu Weti sebagai
penagih pajak di daerah kecil ditingkatkan statusnya menjadi Bonto Ogena
disamping sebagai penanggung jawab dalam pengurusan pajak dan keuangan
juga mempunyai tugas khusus selaku kepala siolimbona (saat ini hampir
sama dengan ketua lembaga legislatif).
Bidang Pertahanan Keamanan ditetapkannya Sistem Pertahanan Rakyat Semesta dengan falsafah perjuangan yaitu :
“Yinda Yindamo Arata somanamo Karo”
(Harta rela dikorbankan demi keselamatan diri)
“Yinda Yindamo Karo somanamo Lipu”
(Diri rela dikorbankan demi keselamatan negeri)
“Yinda Yindamo Lipu somanamo Sara”
(Negeri rela dikorbankan demi keselamatan pemerintah)
“Yinda Yindamo Sara somanamo Agama”
(Pemerintah rela dikorbankan demi keselamatan agama)
“Yinda Yindamo Arata somanamo Karo”
(Harta rela dikorbankan demi keselamatan diri)
“Yinda Yindamo Karo somanamo Lipu”
(Diri rela dikorbankan demi keselamatan negeri)
“Yinda Yindamo Lipu somanamo Sara”
(Negeri rela dikorbankan demi keselamatan pemerintah)
“Yinda Yindamo Sara somanamo Agama”
(Pemerintah rela dikorbankan demi keselamatan agama)
Disamping itu juga dibentuk sistem pertahanan
berlapis yaitu empat Barata (Wuna, Tiworo, Kulisusu dan Kaledupa), empat
matana sorumba (Wabula, Lapandewa, Watumotobe dan Mawasangka) serta
empat orang Bhisa Patamiana (pertahanan kebatinan). Selain bentuk
pertahanan tersebut maka oleh pemerintah kesultanan, juga mulai
membangun benteng dan kubu–kubu pertahanan dalam rangka melindungi
keutuhan masyarakat dan pemerintah dari segala gangguan dan ancaman.
Kejayaan masa Kerajaan/Kesultanan Buton (sejak berdiri tahun 1332 dan
berakhir tahun 1960) berlangsung ± 600 tahun lamanya telah banyak
meninggalkan warisan masa lalu yang sangat gemilang, sampai saat ini
masih dapat kita saksikan berupa peninggalan sejarah, budaya dan
arkeologi. Wilayah bekas Kesultanan Buton telah berdiri beberapa daerah
kabupaten dan kota yaitu : Kabupaten Buton, Kabupaten Muna, Kabupaten
Wakatobi, Kabupaten Bombana dan Kota Bau – Bau (terdapat Keraton
Kesultanan Buton).
Keadaan wilayah
Luas wilayah
Kota Baubau mempunyai wilayah daratan seluas 221,00 km², luas laut mencapai 30 km² merupakan kawasan potensial untuk pengembangan sarana dan prasarana transportasi laut[7][8].Letak geografis
Secara geografis terletak di bagian selatan garis khatulistiwa di antara 5.21° – 5.33° Lintang Selatan dan di antara 122.30° – 122.47° Bujur Timur atau terletak di sebelah Selatan Provinsi Sulawesi Tenggara.Wilayah Kota Baubau berbatasan dengan:
Utara | Selat Buton |
Selatan | Kecamatan Pasar Wajo, Kabupaten Buton |
Barat | Kecamatan Kadatua, Kabupaten Buton Selatan |
Timur | Kecamatan Kapontori, Kabupaten Buton |
Topografi
Kota Baubau pada umumnya memiliki permukaan yang bergunung, bergelombang dan berbukit-bukit. Di antara gunung dan bukit-bukit terbentang dataran yang merupakan daerah-daerah potensial untuk mengembangkan sektor pertanian.Hidrologis
Kota Baubau memiliki pula sungai yang besar, yaitu sungai Baubau yang membatasi Wolio dan Betoambari serta membelah ibu kota Baubau. Sungai tersebut umumnya memiliki potensi yang dapat dijadikan sebagai sumber tenaga, irigasi dan kebutuhan rumah tangga.Iklim
Keadaan iklim di daerah Kota Baubau umumnya sama dengan daerah lain disekitarnya yang mempunyai 2 musim, yaitu musim hujan dan musim kemarau dengan suhu udara berkisar 20 °C–33 °C.Musim hujan terbanyak terjadi pada bulan Desember dan Maret, pada bulan–bulan tersebut angin barat yang bertiup dari Asia dan Samudera Pasifik mengandung banyak uap air, musim kemarau terjadi mulai bulan Mei sampai bulan Oktober, pada bulan-bulan ini angin timur yang bertiup dari Australia kurang mengandung uap air.
(sumber : Wikipedia.org)
(Sumber : http://www.baubaukota.go.id )
No comments:
Post a Comment